Monday, May 21, 2007

sedih. cuma itu yang bisa menggambarkan gimana perasaan saya. melihat dua orang supir angkot bertengkar di penggir jalan gara2 rebutan penumpang. untungnya di angkot yang aku tumpangi ga banyak orangnya, sehingga aku bisa leluasa nyembunyiin wajahku. untungnya lagi setelah nyampe asrama, asrama lagi ga terlalu rame sehingga aku bisa meluapkan perasaanku sepuasnya..
entah..saat ngeliat keduanya betengkar, pikiranku langsung ngebayangin keluarga mereka. yah..mereka bertengkar bagaimanapun juga bagi keluarga mereka juga. mereka tengah mencari nafkah, demi mencukupi kebutuhan keluarga mereka. mungfkin yang dipertengkarkan hanyalah satu orang penumpang yang membayar paling 1000 - 2000 rupiah. uang yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya..
pikiranku melayang, kala melihat bendera partai politik di pinggir jalan, aku terpikir, apakah yang di Istana dan di senayan tahu akan keadaan masyarakatnya yang seperti ini? ataukah bisa jadi di sana mereka tengah makan siang dengan hidangan steak atau makanan bergaya eropa. hatiku pedih membayangkan paradoks hidup ini...negara ini tidak pantas memiliki istana sekiranya masih ada rakyat kelaparan..sebab istana hanyalah simbol menara gading yang angkuh!
aku pun lantas teringat Umar Ibn Khaththab yang biografinya belum aku selesaikan membacanya gara2 terbentur ujian. aku teringat cerita bahwasanya umar yang hobi berjalan-jalan malam guna melihat keadaan masyarakatnya pernah menjumpai seorang ibu yang memasak batu guna meredakan tangis anaknya karena lapar. umar hatinya teriris dan akhirnya dipanggullah makanan dari kas negaranya guna diberikan kepada keluarga itu.
kisah itu membuatku sakit..rindu..dan..heran
sakit..melihat realitas yang begitu ironis dan tidak adanya pemimpin yang memiliki perhatian pada rakyatnya laiknya umar
rindu..pada sosok pemimpin seperti umar, yang pernah berkata jika ia tidur pada siang hari maka ia mendzalimi rakyatnya, sedangkan bila ia kebanyakan tidur di malam hari, ia mendzalimi dirinya sendiri
heran..melihat pemimpin2 kita, takutkah mereka akan pertanggungjawaban di akhirat kelak? dimana di dunia mereka berlomba-lomba jadi pemimpin, dan bersyukur saat mendapatkan amanah besar
negeri ini membutuhkan banyak pahlawan kawan, engkaulah salah satunya!!!
tinggal, apakah engkau akan menjemput takdir kepahlawananmu ataukah engkau hanya menjadi penonton dari sejarah ???

3 comments:

Judge Ahmad said...

Waktu dateng ke Unpad, seorang jubir kepresidenan pernah bilang, "Umar itu memerintah satu negeri yang penduduknya gak sebanyak Indonesia, wilayahnya gak seluas Indonesia, & di saat masalah politik belum sekompleks sekarang, makanya beliau bisa berbuat seperti itu. Kalo zaman sekarang sih gak bisa seperti itu..."
Terus terang, bulat2 saya gak setuju pendapat itu. Kita kan bukannya menuntut Presiden RI keliling Indonesia tiap malem buat mastiin rakyat udah makan apa belom. Yang kita mau adalah pemimpin negeri ini memiliki "sifat" ke-Umar-an, yang mencintai rakyat lebih dari ia mencintai dirinya sendiri.
Di zaman Umar, masalah politik gak serumit sekarang, tapi pengorbanan beliau sudah begitu dahsyatnya. Kepedulian beliau kepada rakyat sudah begitu besarnya. Sedangkan para pemimpin Indonesia zaman sekarang, udah tau bangsa banyak masalah, masih sempat-sempatnya bersenang-senang menikmati fasilitas, debat sana-sini, berantem rebutan kekuasaan...

Jubir Presiden kok mikirnya sepicik itu ya?

Mr Fajarsyah said...

sapa bilang pas zaman umar wilayahnya ga luas? islam udah masuk irak deh dari jazirah arab..
yah..bisa dilihat kan dari pilpres kemarin..semuanya dapet dana nonbujeter dari dept kelautan, untung pa amien masih punya integritas dan mengaku khilaf, sok atuh pemimpin lainnya pada ngaku..
kalo ngeliat hub politik ma duit yang erat banget, wajar aja pas dapet jabatan yang pertama kali dikejer itu break even point dengan modal pas kampanye..!
pragmatis!

Anonymous said...

Komentar cerdas, Ahmad. Masalahnya bukan pada luas wilayah, melainkan kelakuan...