Thursday, May 10, 2007

Ironi Demokrasi, Belajar Dari Turki


Boleh saja saat ini kita menganggap demokrasi adalah paham yang ideal diterapkan di dunia. akan tetapi, sudah selayaknya pula kita membuka mata tentang realitas pelaksanaan demokrasi yang jauh dari keindahan konsepnya. Turki telah memberi dunia pelajaran, akan betapa represifnya demokrasi.

Turki, negara sekuler modern yang didirikan oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1923, telah mengalami pasang surut dalam pelaksanaan demokrasinya. Kudeta militer 3 kali terjadi demi mempertahankan nilai – nilai secular Turki. Kudeta terakhir terjadi tahun 1997, saat pemilu Turki dimenangkan Partai Refah yang berafiliasi terhadap Islam. Pada akhirnya, mahkamah konstitusi membubarkan Partai Refah dan melarang aktivitas politik pimpinannya, Necmettin Erbakan.

Kini situasi politik turki kembali memanas. AKP, yang merupakan kelanjutan dari Partai Refah dengan paradigma baru yakni menerima konstitusi modern dan lebih moderat, memenagkan pemilu turki tahun 2002. Titik kulminasi suhu politik itu terjadi saat Turki harus memilih presiden baru tahun 2007 ini. Calon Presiden yang diajukan oleh AKP ditolak oleh kaum sekuler karena afiliasi mereka dengan Islam dikkhawatirkan akan mengubah dasar sekuler negara Turki.

Sebenarnya, bila menilik mekanisme pemilihan presiden Turki, AKP bisa saja memenangkan pemilihan tersebut. Seorang calon presiden akan menjadi presiden bila mengantongi dua pertiga suara di parlemen. Bila itu tidak dicapai, maka diadakan putaran ke dua dimana calon yang mengantongi suara terbanyak maka akan jadi presiden. Sebagai pemenang pemilu, AKP memiliki suara mayoritas di parlemen, dan tentu saja untuk menggolkan calonnya menjadi presiden bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi, melihat situasi politik yang semakin memanas, calon presiden dari AKP, Abdullah Gul, menarik diri dari pencalonan.

Memanasnya situasi politik di Turki disebabkan oleh kekhawatiran dari kamun sekular terhadap AKP dan orang – orangnya yang pro islam. AKP dikhawatirkan akan mengubah dasar sekularisme negara Turki dengan konsep Islam. Walaupun AKP telah menyatan loyalitasnya terhadap konsep sekuler Turki dan berkomitmen mendukungnya, tak serta merta menghapus kekhawatiran kaum sekular tersebut. Pada akhirnya, konflik politik pun terjadi.

Sebuah Ironi
Konflik politik di Turki menyisakan ironi tersendiri bagi demokrasi. Dalam realitas politik Turki, demokrasi jelas hanya menjadi milik golongan tertentu saja dalam hal ini adalah golongan sekuler. Adapun golongan lain, dalam hal ini adalah Islam, yang telah menyatakan mendukung sistem sekuler Turki tidak diberi kesempatan yang luas dalam pemerintahan.

Dalam hal ini, kaum sekuler bertindak terlampau emosional dan paranoid dalam menghadapi realitas demokrasi di Turki. Fakta lapangan tak bisa dipungkiri bahwasanya Turki telah berkembang jauh lebih pesat pada saat pemerintahan PM Erdogan yang berasal dari AKP daripada saat pemerintahan sebelumnya yaitu pemerintahan koalisi. Dari sini jelaslah komitmen AKP dalam membangun dan memajukan Turki.

Memang yang jadi permasalahan adalah benturan islamisme dengan sekularisme dalam kultur demokrasi Turki. Benturan ini hampir selalu diakhiri oleh kudeta oleh militer yang memang berperan sebagai penjaga nilai – nilai sekular. Memang dalam demokratsi, kudeta militer adalah langkah yang tidak terpuji, namun dalam perpolitikan Turki, hal ini telah menjadi sesuatu hal yang lumrah.

Secara logika memang Islamisme tidak bisa bersanding dengan sekularisme. Dan kini benturan keduanya benar – benar berlangsung secara terbuka di Turki. Hanya saja yang harusnya dijadikan pertimbangan dari kubu sekuler adalah bagaimana pernyataan mendukung sistem sekuler oleh AKP dan implementasi di lapangannya. Bila melihat sepak terjang PM Erdogan di pemerintahan yang tidak mengikutsertakan istrinya yang berjilbab di acara kenegaraan, begitu pula mentri – mentri AKP yang lainnya, apakah tidak cukup untuk membuktikan AKP mendukung sistem sekuler?

Harusnya, pertentangan semacam ini tidak boleh terjadi di negara demokrasi. Bagaimanapun juga sebuah sistem kenegaraan menghendaki yang terbaik bagi rakyatnya. Maka apabila suatu pemerintahan berhasil mendatangkan pelayanan yang baik bagi rakyat, hendaknya disambut dengan itikad baik dan tangan terbuka. Selama penyelenggara pemerintahan tersebut memiliki komitmen terhadap konstitusi, mengapa tidak memberi kesempatan yang lebih luas pada mereka ?

Yang harus menjadi bahan kontemplasi adalah apakah pemaknaan demokrasi sudah jauh dari kepentingan rakyat ? sehingga yang terjadi adalah pertentangan politisi yang berasal dari dua kubu berbeda yang malah memperburuk keadaan. Pada akhirnya, rakyat kembali menjadi tumbal demokrasi. Maka dari itu, langkah PM Erdogan untuk menggelar pemilu yang dipercepat serta mengajukan amandemen konstitusi berupa pemilihan presiden langsung oleh rakyat, adalah sebuah langkah yang tepat untuk mengembalikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat. Sehingga, rakyat bebas menentukan kemana arah masa depan dirinya dan negerinya.

Pembelajaran Bagi Indonesia
Kisruh politik Turki bisa menjadi sebuah pembelajaran demokrasi di Indonesia. Secara konstitusi, Indonesia adalah lahan yang tepat bagi tumbuh suburnya berbagai macam faham kecuali komunisme tentunya. Sehingga, rawan sekali munculnya stigma – stigma tertentu pada suatu kelompok yang pada akhirnya mengerdilkan makna demokrasi itu sendiri.

Selama kelompok yang menganut faham tertentu kecuali komunisme tersebut berkomitmen pada NKRI, maka biarkan mereka membuktikan keloyalannya pada Republik. Dan hal ini ditunjukkan oleh kiprah nyatanya dalam pembangunan, bukan dari stigma – stigma yang beredar di masyarakat.

Pada akhirnya kita dituntut dewasa dalam berdemokrasi. Kedewasaan dalam berdemokrasi ditunjukkan dengan kefahaman kapan harus naik ke pemerintahan, dan kapan harus turun dari pemerintahan. Sebenarnya, ada parameter yang pas untuk menilai kelayakan dalam pemerintahan ini, yaitu prestasi. Apabila track recordnya bagus, maka silakan tetap di pemerintahan, bila tidak sebaiknya keluar.

Kesimpulan
Ironi yang terjadi pada pelaksanaan demokrasi di Turki lebih diakibatkan pada kekhawatiran yang berlebihan. Dimana para pelaku politik lebih melihat latar belakangnya, bukan prestasi politik dan pemerintahannya. Pada akhirnya yang bermain disini adalah isu – isu dan stigma – stigma menjatuhkan yang berakibat konflik politik. Sehingga pada akhirnya demokrasi seakan – akan hanya menjadi milik beberapa kelompok saja. Maka dewasalah dalam berpolitik. Akui keberhasilan, jadikan pemicu untuk berprestasi lebih dalam melayani rakyat.

No comments: