Tuesday, May 01, 2007

Merangkai Serakan Mimpi
(sebuah novel tentang hidup)
PROLOG

“ Fathi, makan dulu nak “
Aku keluar dari kamar sembari membenarkan baju seragam SD ku yang agak besar. Aku cukup tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan anak seusiaku. Tubuhku yang agak kurus berjalan agak gontai menuju ruang makan. Akhirnya, sampailah aku pada asal suara yang memanggilku, sosok perempuan yang tidak terlalu tinggi dan agak gemuk terlihat duduk di ujung meja makan sembari menyuapi adik kecilku, Devi, yang baru berusaku 3 tahun. Mulut adik perempuanku terlihat belepotan penuh bubur hingga ke pipi – pipinya yang tembem, lucu sekali.
“ susunya bikin sendiri ya, mama ga sempat buatin soalnya adikmu keburu bangun “, sahut mama ketika aku datang
aku urung duduk di meja makan, aku menghampiri lemari es yang tidak jauh dari meja makan. Kuambil kaleng susu bendera, dan kutuangkan ke gelas yang sudah disiapkan mamaku.
“ imran mana ma ?” tanyaku saat tak ku jumpai adik laki – lakiku yang hanya berselisih 2 tahun dariku.
“ masih tidur, biarin toh dia sekolah siang “ kata mama sembari melap pipi adik kecilku Tampaknya adik kecilnya telah selesai makan.
“ bapak mana ?” tanya aku,
“ masih tidur, baru dateng jam 3 malem tadi “
suara mamanya terdengar datar, ada nada yang berbeda dari suaranya.
Suapan demi suapan nasi masuk ke mulutku, namun pikiranku melayang – layang. Sudah sering bapakku pulang malam, tak sempat lagi melihatku berangkat sekolah semenjak kelas 4 SD. Sudah lama pula tidak ada jalan – jalan keluarga. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita sekeluarga pergi jalan – jalan entah ke pantai, ke gunung, atau hanya sekedar makan bersama di restoran. Kini setelah 2 tahun berselang, tak jua ada perubahan, padahal aku pengen jalan – jalan ke gunung sambil makan sate atau bakar ikan, sudah lama sekali rasanya.
Tiba – tiba Aku teringat ucapan Udin, teman sebangkuku di kelas 5 setahun lalu,
“ Tih, tau ga, bapakmu tuh punya istri lagi tahu. Saya diceritain bapakku, bapakku dikenalin ama istri muda bapakmu “
aku ga percaya, sama sekali tidak. Toh aku udah cukup tahu si udin itu emang mulut besar plus tukang bikin gosip, lagian pas aku bertanya pada mama, mama bilang itu ga bener, malah bapaknya si udin justru yang punya istri muda. Aku jadi punya senjata buat ngebales si udin sialan itu.
Namun sebuah temuan membuatku berpikiran lain.
Sekitar enam bulan lalu, aku menjumpai rumah dalam keadaan kosong. Di gagang pintu cuma ada kertas bertuliskan
MAMA PERGI KE PASAR, KUNCI DI BI MARNI.
Aku lantas mengambil kunci di bu marni, tetangga depan rumahnya.
Aku buka pintu rumah, langsung ke kamar dan berganti pakaian. Ketika akan menuju meja makan, terlihat kamar orang tuaku agak terbuka. Kasur orang tuaku tampak berantakan, kertas dimana – mana, map surat – surat sampai kalender meja ada di kasur. Aku pun perlahan masuk untuk sedikit membereskan, tiba - tiba mataku tertumpu pada kalender meja itu. Kalender itu penuh coret – coretan. Hitam, hijau, biru, merah kombinasi tinta yang terlihat di kalender tersebut,
Maret, setahun yang lalu. Tulisan yang paling besarnya adalah
siapakah dia ?
Januari.
dia pulang malam lagi hari ini
Juni,
kurang apa aku ini sehingga harus ada dia?
jantungku semakin berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi dahiku yang agak lebar.
September,
HARI – HARI BADAI DALAM RUMAH TANGGAKU
aku terpaku pada tulisan itu, kubaca tulisan cakar ayam mama di setiap tanggalnya.
Ada perasaan kaget
Ada perasaan sakit.
Ada perasaan sedih.
Ada perasaan bingung.
Ada perasaan takut
Semuanya bercampur, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya anak kelas 6 SD
Suara becak terdengar datang ke palataran rumah, aku segera menempatkan kalender itu di tempatnya semula. Mama telah datang.
“Suapan terakhir, tinggal minum susu”, batinku. Segera saja segelas susu ku habiskan. Sudah pukul 6.30 aku harus berangkat sekolah. Ku cium tangan mamaku, tak lupa pula kucium pipi devi yang tembem.
“ ma, uang sakunya mana ? “
“ nih, seribu aja ya, mama ga ada duit lagi “
seribu bagiku lebih dari cukup, toh aku jarang sekali jajan di sekolah. Aku pertama kali jajan di sekolah saat kelas 4 SD, sebelumnya tidak pernah sama sekali. Tak heran uang tabunganku lumayan banyak, setidaknya menggoda si Imran buat nyolong sedikit – sedikit dari kantong seragamku. Biasanya uang tabunganku ku serahkan lagi ke mama. Makanya mama ga pernah ragu memberiku uang jajan tidak seperti pada adikku si Imran. Ia dikasih cuma lima ratus doang, plus pesen – pesen yang banyak kayak ga boleh beli es atau permen banyak – banyak.
Kulewati kamar orang tuaku. Bapak masih tidur, kakinya tampak menjuntai di ke lantai. Ia masih memakai celana panjang hitam dan kemeja kerjanya. Tampaknya ia lelah sekali.
Tiba – tiba ada hentakan dari dalam jiwaku, kebencian, kemarahan.
Muncul keinginanku untuk bertanya pada mama perihal kalender itu
Rasanya dadaku sesak, aku ingin tahu apa yang terjadi, sejelas – jelasnya
“ Ma.....”
“ ada apa tih, kok belum berangkat juga ? “
“ Assalamua’alaikum, Fathi berangkat “
“ wa’alaikum salam, ati – ati di jalan ya, belajar yang rajin katanya mau jadi dokter “
Aku pun segera berlalu

No comments: