Monday, March 19, 2007

Peluang Kebangkitan Ekonomi Rakyat Ditengah Ancaman Privatisasi Listrik

Ditengah arus deras privatisasi ketenagalistrikan yang dikhawatirkan memahalkan listrik, muncul setitik harapan akan pencukupan kebutuhan listrik sekaligus murah melalui pemberdayaan potensi kerakyatan. Adalah Tri Mumpuni yang mengawali sebuah gerakan moral – sosial – ekonomi – teknologi yang menerbitkan sebuah harapan baru untuk masa depan yang lebih baik. Gerakan ini sejalan pula dengan cita – cita ekonomi kerakyatan yang bercirikan adanya pengerahan partisipasi rakyat di dalamnya dalam wadah koperasi. Ini akan menjadi secercah cahaya untuk terciptanya suatu tatanan kehidupan sosial ekonomi dan teknologi rakyat yang kokoh.
Privatisasi sendiri adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi. Di mata kaum kapitalis, privatisasi ini akan memunculkan pasar bebas sehingga menimbulkan harga yang kompetitif pada konsumen. Sebaliknya, bagi kaum sosialis, privatisasi akan berakibat penurunan kualitas produk baik barang maupun jasa akibat penghematan – penghematan yang dilakukan perusahaan untuk mencapai profit.
Berbicara tentang privatisasi di sektor ketenagalistrikan, banyak pro kontra yang berkembang di masyarakat. Pendapat yang setuju pada privatisasi listrik dilatarbelakangi oleh pandangan yang menilai monopoli listrik sudah tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan perkembangan teknologi yang cepat dan heterogennya konsumen listrik menyebabkan listrik terlalu riskan untuk diletakkan pada satu tangan. Sebab bisa jadi rakyat akan membayar terlampau mahal untuk produk yang kurang baik dengan kapasitas yang kurang memadai.
Sedangkan yang kontraprivatisasi listrik menilai bahwa bisa jadi penguasaan listrik pada sektor swasta yang notabene profit oriented malah akan membuat listrik menjadi mahal dengan mutu yang kurang baik pula. Terbukti dari industri penerbangan yang diprivatisasi kemudian malah menomorduakan mutu pesawat akibatnya banyak terjadi kecelakaan. Bisa jadi hal yang sama terjadi pada listrik. Selain itu, belum jelas pula manfaat yang bisa diraih pemerintah dari langkah privatisasi listrik ini. Di sisi yang lain, bahaya pemecatan karyawan PLN akibat berkurangnya ‘lahan’ PLN akan mengintai dan akan menambah besar jumlah pengangguran di Indonesia. Hal ini tentu saja akan menimbulkan masalah sosial baru di masyarakat.
Bila ditarik benang merah dari masalah ini, Bangsa Indonesia belum siap untuk melakukan privatisasi di sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, salah satunya adalah listrik. Sebab untuk menjamin produk yang berkualitas dan harga yang bersaing dibutuhkan sebuah iklim kompetisi yang menunjang. Hal inilah yang belum terkondisikan di tanah air. Apabila dipaksakan, maka yang terjadi hanyalah perpindahan monopoli dari pihak pemerintah kepada pihak swasta. Sebab pada kasus ini, privatisasi hanya akan mengubah status kepemilikan bukan harga produk atau mutu produk seperti yang dimimpikan masyarakat. Akibatnya, rakyat kecil kembali menjadi tumbal kapitalis yang berkuasa di sektor privat.
Disaat secara kultur ekonomi, bangsa ini belum siap melakukan privatisasi listrik, privatisasi ketenagalistrikan sendiri malah sempat mendapat lampu hijau dari konstitusi. Hal ini ditandai dengan keluarnya Undang – Undang nomor 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikan. Pasal 8 UU No. 20/2002 tersebut berbunyi, usaha ketenagalistrikan secara keseluruhan mencakup dua bidang usaha sebagai berikut: usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik. Bila usaha penyediaan tenaga listrik terdiri dari tujuh bidang usaha sebagai berikut: (a) usaha pembangkit listrik; (b) usaha transmisi tenaga listrik; (c) usaha distribusi listrik; (d) usaha penjualan tenaga listrik; (e) agen penjualan tenaga listrik; (f) pengelola pasar tenaga listrik; dan (g) pengelola sistem tenaga listrik. Hal ini menandakan sektor ketenagalistrikan tidak lagi terlaksanakan secara integral oleh suatu badan usaha, dalam konteks negara kita adalah PLN, namun terbagi – bagi pelaksanaannya oleh badan – badan usaha. Hal ini tentu saja sama dengan ucapan selamat datang pada sektor privat. Beruntung, setelah banyaknya gugatan, undang – undang ini dibatalkan oleh mahakamah konstitusi tahun 2004.
Ditengah pergulatan yang panjang inilah muncul harapan baru untuk hari esok yang lebih baik terutama dalam penyediaan energi listrik. Sebuah gerakan moral – sosial – ekonomi – teknologi digalang untuk mampu memainkan peran lebih dalam pemberdayaan potensi masyarakat kecil. Tri mumpuni menjadi pionir gerakan ini dan terbukti mampu memadupadankan konsep ekonomi kerakyatan dengan laju modernisasi dan teknologi yang berorientasi pada peningkatan harkat hidup kesejahteraan rakyat.
Dalam perjuangannya, Mumpuni menginstalasi pembangkit listrik energi mikrohidro yang mampu menghasilkan energi listrik sekitar 100 KWh untuk mencukupi kebutuhan listrik di desa – desa. Kemudian pengelolaannya diserahkan kepada koperasi setempat yang keuntungannya digunakan pula untuk kesejahteraan masyarakat daerah tersebut. Hasilnya, sebuah desa di Subang yang warganya menguasai 50 persen kepemilikan dari kerja samanya dengan perusahaan swasta lokal. Di sebuah desa di Sumba kepemilikannya bahkan 100 persen, dikelola Koperasi Unit Desa (KUD). Di satu desa di Sumatera Selatan, suatu koperasi pesantren mendapat penghasilan Rp 60 juta per bulan dari listrik yang dijual ke Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Gerakan ini menjadi sebuah sinyalemen kebangkitan ekonomi rakyat yang identik dengan koperasi. Ekonomi rakyat, setelah terkuaknya fenomena bubble economy, mulai dipandang sebagai tulang punggung perekonomian di Indonesia. Maka dari itu, keberadaan dan letak strategis koperasi dalam perekonomian perlu dikaji ulang sehingga koperasi ini mampu diikutsertakan dalam kegiatan bisnis, produksi, distribusi, dan konsumsi. Sehingga dari sini diharapkan pemberdayaan potensi rakyat akan terwujud sehingga mampu meningkatkan harkat hidup rakyat sendiri khususnya masyarakat ekonomi lemah.
Koperasi sendiri oleh pendirinya, Mohammad Hatta, dianggap sesuai dengan jiwa rakyat Indonesia dan kemudian prinsip – prinsip menjadi bagian dari blue print ekonomi nasional seperti yang termaktub dalam Undang – Undang Dasar. Dalam konstitusi, koperasi sendiri memiliki kedudukan hukum yang kuat sebagaimana termaktub dalam undang – undang dasar pasal 33 yaitu ekonomi disusun berdasar atas usaha bersama berdasarkan atas prinsip kekeluargaan. Hal ini kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya undang – undang nomor 25 tahun 1992 yang dalam salah satu isinya berbunyi bahwa fungsi dan peran koperasi salah satunya adalah memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan ekonomi nasional dengan koperasi sebagai soko gurunya.
Akan tetapi pelaksanaannya tidak demikian. Koperasi tidak mampu melebarkan sayapnya karena keterbatasan terhadap akses yang menunjang seperti teknologi, pasar, iklim usaha, dan investasi. Orde baru yang memerintah pada jangka waktu yang lama tidak mampu mengembangkan koperasi malah menjeratnya dalam praktik KKN. Pada masa itu, koperasi tidak lebih sebagai kedok terciptanya demokrasi ekonomi. Hal ini terlihat dari anjuran orde baru kepada para pengusaha besar untuk bekerja sama dengan koperasi, namun hal itu tak lebih dari sekedar ‘sumbangan’ dari orang kaya ke orang miskin. Hal ini semakin membenamkan koperasi yang ironisnya bangsa ini meyakininya sebagai pilar penguat ekonomi rakyat sebagaimana tercantum dalam undang – undang perkoperasian.
Gerakan yang digalang Tri Mumpuni ini menandakan babak baru perkembangan perkoperasian tanah air. Banyak hal menggembirakan dan bermakna yang bisa kita petik dari sini. Pertama, potensi rakyat benar – benar terberdayakan. Hal ini terlihat dari pengelolaan usaha pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM) ini oleh rakyat dalam bentuk koperasi sehingga rakyat mampu berpartisipasi aktif dalam kegiatan perekonomian. Selain itu, hal ini turut mencerdaskan rakyat dalam segi teknologi dan manajemen sehingga kualitas kecerdasan masyarakatnya akan meningkat. Dari sisi koperasi sendiri hal ini tentu saja membuat koperasi berhasil mendapatkan akses ke gerbang teknologi, pasar, dan investasi. Akses ke aspek vital ini diharapkan melahirkan koperasi yang mampu mandiri dan memiliki kemampuan kompetisi pasar yang kuat sehingga mampu merealisasikan peran dan tujuannya sebagai soko guru perekonomian nasional.
Memang apabila dilihat dalam skala usaha, gerakan yang dipelopori Tri Mumpuni ini hanya meliputi skala kecil, skala desa. Berbeda dengan skala usaha perusahaan - perusahaan besar yang melingkupi skala provinsi bahkan nasional. Namun, gerakan ini harus menjadi langkah awal bagi pemberdayaan potensi rakyat, dan menjadi pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan. Gerakan ini harus dilihat sebagai gerakan moral atas keprihatinan kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Selain itu, gerakan ini harusnya mampu membuka mata pemerintah bahwa secara sumber daya manusia, kita mampu mencukupi kebutuhan vital bangsa ini.
Selain itu, gerakan ini harus menjadi cambuk bagi pemerintah untuk lebih memberdayakan potensi rakyat dan tidak menjadikan rakyat hanya sebagai objek pembangunan saja melainkan harus turut melibatkannya dalam pembangunan. Penempatan rakyat sebagai objek pembangunan hanya menjadikan karakter rakyat kita hanya sebagai konsumen sehingga budaya konsumtif yang berkembang. Pelibatan rakyat dalam pembangunan akan meningkatkan kreativitas rakyat dalam iklim usaha sehingga mental yang terbentuk adalah mental produktif dan berdaya saing global.
Bagi dunia perkoperasian sendiri, gerakan ini harus mampu mengubah paradigma perkoperasian kita yang berkisar di tataran koperasi konsumsi dan simpan pinjam saja. Gerakan ini mampu menggeser pandangan koperasi menjadi produsen dan memiliki sistem manajemen modern. Selain itu, kekuatan teknologi dan segmentasi pasar tersendiri akan mampu menambah daya saing koperasi selain harga yang bersaing dan daya penawarannya berbeda karena orientasi yang bukan semata pada profit.
Bahkan untuk kasus ketenagalistrikan ini, perkembangan yang bisa dicapai oleh koperasi akan sangat luar biasa. Bayangkan wilayah Indonesia yang begitu luas dengan potensi energi yang besar sementara masih cukup banyaknya daerah yang belum tersentuh energi listrik. Bila potensi ini bisa dibidik dengan cepat dan tepat, niscaya perkembangan ekonomi kerakyatan melalui koperasi akan semakin berkembang dan mengokohkan ekonomi bangsa. Pada akhirnya hal ini akan turut meningkatkan harkat hidup rakyat banyak.
Pada akhirnya, gerakan ini harus dipandang sebagai sebuah mainstream baru pemberdayaan potensi rakyat guna memperkokoh pembangunan bangsa ini. Privatisasi yang hendak digulirkan pemerintah harus dikaji ulang sebab telah ada secercah harapan bangkitnya ekonomi kerakyatan melalui koperasi yang jauh lebih kuat, lebih kokoh dengan adanya akses ke aspek teknologi, pasar dan investasi. Jangan sampai privatisasi listrik yang digulirkan malah akan mematikan potensi yang belum berkembang secara meluas ini. Selain itu, pemerintah perlu menelaah ulang keputusan untuk memprivatisasi listrik, apakah telah jelas keuntungannya sendiri baik untuk negara maupun untuk rakyatnya ? jangan sampai privatisasi yang dilakukan kelak justru hanya memindahkan monopoli dari pihak pemerintah pada swasta yang justru akan berakibat sektor ini dikuasai kapitalis yang terbukti lebih memilih profit daripada kesejahteraan rakyat banyak.
Maka dari itu, dibutuhkan peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator dalam perkembangan koperasi berbasis teknologi ini sehingga perekonomian bangsa ini kembali memiliki fondasi kokoh di tataran ekonomi rakyatnya. Selain itu, kontribusi dari kaum ilmuwan dan teknolog serta penyandang dana akan sangat penting bagi keberjalanan ini. Mari jadikan peluang ditengah ancaman privatisasi listrik ini menjadi kunci kebangkitan ekonomi rakyat melalui koperasi.

No comments: