Monday, March 19, 2007

Privatisasi Bukan Solusi

Tak banyak kabar beredar yang memberitakan pembahasan rancangan undang – undang ketenagalistrikan tahun 2006 (RUUK 2006) di komisi VII DPR RI. Bila RUU ini disahkan menjadi Undang – undang, maka besar kemungkinan akan terjadi polemik yang sama yang mengiringi undang – undang pendahulunya, UU no 20 tahun 2002. pasalnya, RUU ini seperti UU no 20 tahun 2002 yang bangkit kembali namun dengan bahasa yang lebih smooth.

Pada RUUK 2006, pasal 8, 10, dan 11 berisi konsep unboundling. Unboundling memberikan pemahaman bahwasanya usaha penyediaan tenaga lsitrik tidak lagi dipandang sebagai satu bagian yang utuh yang dikelola dan dikuasai pemerintah, namun dibagi berdasarkan proses produksinya seperti pembangkitan, transmisi, distribusi, penjualan, pengelolaan pasar, dan pengelolaan sistem (pasal 8 ayat (2) RUUK 2006). Setiap jenis usaha tersebut dapat dimiliki oleh pihak non pemerintah seperti BUMD, swasta, swadaya masyarakat (pasal 10 ayat (3) RUUK 2006). Pada daerah yang memungkinkan secara teknis dan ekonomis usaha pembangkitan dan penjualan tenga listrik dikompetisikan (pasal 11 ayat (1)RUUK 2006). Hal yang sama juga terdapat pada Undang – undang no 20 tahun 2002 terutama pasal 8.

Pada dasarnya inti dari RUUK 2006 dan uu no 22 tahun 2002 adalah privatisasi atau liberalisasi ketenagalistrikan. Hal yang melatarbelakangi liberalisasi ketenagalistrikan ini tak lain adalah beban subsidi listrik yang terlalu besar yang dirasakan pemerintah sebesar 38 triliun rupiah (desember 2006). Di lain sisi, PLN sendiri malah menanggung kerugian 4.9 triliun rupiah pada 2005 dan Rp.1,2 triliun pada 2006.

Diharapkan dengan liberalisasi sektor ketenagalistrikan ini, beban subsidi listrik pemerintah bisa berkurang, selain itu pendapatan pemerintah pun bisa bertambah dengan adanya pajak yang dikenakan pada swasta. Diharapkan pula, akan ada kompetisi harga yang bersaing diantara provider energi listrik sehingga harga listrik bisa terjangkau. Liberalisasi listrik diharapkan pula mampu menaikkan rasio elektrifikasi yang masih kurang dari 60 persen ini sehingga mampu mempercepat pembangunan di daerah – daerah yang saat ini belum terjangkau jaringan listrik.

Bukan Solusi

Bila dianalisis lebih lanjut, privatisasi ketenagalistrikan ini tidak menyelesaikan permasalahan yang ada, baik itu subsidi listrik, kerugian PLN, harga listrik yang makin tak terjangkau, maupun rasio elektrifikasi. privatisasi ini adalah sebuah langkah pragmatis yang mengejar keuntungan sesaat untuk kemudian mengorbankan kepentingan rakyat banyak.

Liberalisasi hanya akan memindahkan monopoli listrik dari pemerintah kepada pihak swasta tanpa ada efek lebih yang diharapkan seperti harga yang terjangkau. privatisasi hanya akan mengubah status kepemilikan bukan harga produk atau mutu produk seperti yang dimimpikan masyarakat. Hal ini menjadi keniscayaan sebab iklim kompetisi yang diharapkan terjadi, malah tidak terkondisikan. Pihak swasta akan lebih memilih melakukan konsentrasi produksi dan distribusinya serta melakukan integrasi vertikal dengan penyedia infrastruktur ketenagalistrikan untuk tetap menjaga margin profit yang diharapkan daripada berkompetisi. Akibatnya, harga listrik tetap bahkan semakin mahal dan tak terjangkau sehingga rakyat kecil kembali menjadi tumbal kapitalis yang berkuasa di sektor privat.

Latar belakang dari privatisasi adalah terus meruginya PLN. Permasalahan kerugian PLN berakar pada besarnya biaya operasional pembangkit terutama yang menggunakan BBM. Apabila penggunaaan BBM ini dialihkan ke gas, maka besar kemungkinan PLN akan mendapatkan keuntungan. Biaya pokok produksi apabila diopersaikan dengan BBM jenis HSD (untuk PLTG) adalah Rp.1.222 – Rp 1.560 /kWh. Apabila mengggunakan BBM jenis MFO (untuk PLTU) biayanya kurang lebih Rp.1000/kWh. Sedangkan apabila menggunakan gas, biayanya hanya Rp.192 – Rp.246/kWh. Penggunaan bahan bakar gas yang menurunkan biaya operasional ini diharapkan pula akan mampu menurunkan harga listrik menjadi jauh lebih terjangkau.

Dalam permasalahan beban subsidi listrik yang ditanggung pemerintah, sebaiknya perlu dikaji ulang pemberiannya. Sebab rasio elektrifikasi di Indonesia masih sekitar 52%. Artinya, masih ada 48% rakyat Indonesia yang masih belum menikmati listrik. Tentunya golongan ini adalah golongan masyarakat miskin. Pemberian subsidi listrik tentunya hanya dinikmati 52% penduduk, sedangkan sisanya yang jauh kurang sejahtera malah tidak bisa menikmati subsidi tersebut.

Akan menjadi langkah yang positif bila anggaran subsidi tersebut dialokasikan untuk pembangunan pembangkit listrik baru. Diharapkan dengan dibangunnya pembangkit listrik baru ini akan mampu mencukupi kebutuhan listrik nasional. Kecukupan energi listrik akan mampu pula menurunkan harga listrik menjadi lebih terjangkau asalkan biaya operasional berhasil ditekan salah satunya dengan menggunakan bahan bakar gas.

Konsekuensi yang harus dihadapi pemerintah dengan re-alokasi subsidi listrik menjadi investasi pembangunan pembangkit tenaga listrik adalah adanya kenaikan tarif dasar listrik di awal pelaksanaan kebijakannya. Harus ada pemahaman yang diberikan kepada masyarakat luas untuk mengantisipasi gejolak sosial sehingga masyarakat bisa menerima keputusan ini. Toh, masyarakat pula yang akan diuntungkan kedepannya karena harga akan turun sejalan dengan semakin tercukupinya kebutuhan listrik. Selain itu, pemerintah harus konsisten dalam penggunaan dana anggaran ini, jangan sampai terjadi kasus korupsi dalam pelaksanaannya.

Inti Permasalahan

Permasalahan ketenagalistrikan ini sekali lagi berakar pada keberanian pemerintah dan keberpihakan kebijakannya pada kepentingan rakyat banyak. Masalah listrik ini hanyalah satu bagian konsekuensi yang harus dijalani pemerintah akibat kebijakan yang tidak populis dan terkesan pragmatis. Salah satu kebijakan yang imbasnya ke sektor ketenagalistrikan ini adalah UU Migas no 22/2001 yang berakibat migas negeri kita lebih banyak porsi ekspornya daripada porsi untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Akibatnya, PLN sendiri mengalami kesulitan dalam mendapatkan suplai gas untuk keperluan pembangkitnya, sehingga masih menggunakan BBM yang notabene biaya operasionalnya jauh lebih tinggi.

Selain itu, sifat keukeuh pemerintah dalam menggolkan RUUK 2006 patut dipertanyakan. Apakah pemerintah belum belajar dari dibatalkannya UU no 20 tahun 2002 yang jelas – jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat (2) ? pasal 33 ayat (2) yang berbunyi cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara harus dimaknai bahwa negara harus menguasai, memiliki, menjalankan, dan memonopoli cabang produksi tersebut. Jangan sampai pemahaman yang berkembang adalah menguasai tidak harus memiliki selama itu menguntungan pemerintah, sebab bila pemahaman tersebut yang berkembang, apa bedanya pemerintah dengan pelacur ?

Pada akhirnya semuanya kembali pada pemerintah. Apakah pemerintah akan berani mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil alih – alih pada kaum kapitalis yang menanti di gerbang privatisasi ? hanya saja perlu dicatat bahwa jauh lebih dicintai dan dikenang pemerintah yang memperjuangkan bangsanya, rakyatnya, dan negaranya daripada pemerintah yang manut pada kepentingan ‘juragan – juragan’ berkantong tebal yang tengah berburu uang.

No comments: