Saturday, June 23, 2007

Sehari di Tangerang, melihat realitas memadukan idealitas

jumat lalu saya ke tangerang, mengurus penginapan untuk KP nanti..awalnya saya berencana tinggal di tempat Husni...tapi dasar husni, masak ragunan dibilang deket ama bandara soekarno hatta ??? dari hongkong selatan!!pada akhirnya harus nyari deh...dan keputusan itu dibuat ga lebih dari 1 menit..dengan persiapan yang ..yah..beranghkat deh ke tangerang make travel

banyak hal yang bisa diambil hikmah dan menjadi bahan kontemplasi untuk kehidupan pasca kampus nanti. di bandara, harga ojek amat sangat mahal, melangit banget!!yah bisa abis 50 ribu buat ngojek disana. pengalaman yang membuat miris adalah tentang kehidupan di sekitar bandara itu sendiri. dalam benak saya, lingkungan di sekitar bandara pastilah cukup sibuk dan agak metropolis, mengingat jarak yang tidak terlalu jauh dengan pusat lalu lintas baik dalam negeri maupu luar negeri. akan tetapi, kenyataanya tidak seperti itu. masyarakat sekitar pada umumnya berprofesi sebagai tukang ojek atau pedagang. bahkan rumah - rumah di daerah sekitar bandara pun tergolong sederhana, memang ada yang cukup mewah juga namun sedikit.

belum lagi masalah kebersihan dan estetika yang masih perlu ditingkatkan. bagaimana tidak, kambing - kambing dibiarkan berkeliaran di jalan raya. tentunya ada masalah estetika kota dan kebersihan tentunya. apakah nyaman, anda makan didampingi seekor kambing yang berkelairan mencari makan di sisa makanan yang jatuh ?? belum lagi ketika masuk ke perkampungannya. jarak rumahnya sangat berdekatan, yah kurang lebih sama dengan perkampungan di belakang ciwalk itu. realitas ini memang sangat sering dijumpai di kota - kota besar sentra industi. masyarakat yang termarjinalkan dari hingar bingar kehidupan ekonomi kota. saat itu, saya teringat film the new rulers of the world. gambaran masyarakat keci yangl dipebudak oleh korporasi dan tidak memiliki kekuatan apa apa.

kemudian, akses informasi ke wilayah tersebut pun agak kurang.hal ini ditandai dengan besarnya daya listrik yang dimiliki oleh penduduk di sana, yang besarnya hanya setengah dari daya listrik masyarakat cirebon, atau sepertiga daya listrik masyarakat bandung. tentunya media informasi yang bisa masuk hanya televisi, radio, dan koran.

dengan media informasi diatas, tentunya masyarakat akan menerima informasi yang terbatas. belum lagi ekses negatif dari televisi sendiri yang cukup membahayakan. dan hal tersebut telah bisa dirasakan saat itu dari bagaimana gaya berpakaian dari pemudanya. belum lagi ekses negatif yang meracuni paradigma mereka, misalnya tentang produktivitas bekerja. yang terjadi di sana, masih banyak pengangguran yang berusia muda, sekitar 20 - 30 tahun. tentunya bila dipadupadankan dengan pengaruh televisi sendiri bisa jadi ada korelasinya. di kalangan masyarakat kecil tersebut, amat jelas terlihat kekalahan telak institusi pendidikan dibandingkan dengan televisi. nilai - nilai yang diusung institusi pendidikan seperti inovasi, produktivitas, dan kreativitas, dikalahkan oleh konsumerisme yang digawangi oleh ekses negatif televisi ter;ihat begitu mendominasi kehidupan disana.

hal lain yang membuat miris adalah ketika melaksanakan sholat jumat di masjid Al Furqan di bandara. sholat jumatnya ngaret sampai 15 menit. bagaimana masjid bisa dijadikan sentra peradaban dan menjadi media pembentukan karakter bangsa bila nilai - nilai yang diperlihatkan kepada jamaahnya, bukan nilai - nilai yang memicu pembentukan karakter positif misalnya disiplin ? belum lagi, pemberitahuan - pemberitahuan yang diberitakan menjelang sholat jumat, tidak lepas dari yang namanya sumbangan - sumbangan - sumbangan namun aspek pelayanan jamaahnya sedikit. apa jadinya jika umat ini melihat mesjid hanya sebagai media tempat disalurkannya sumbangan saja, tanpa kemandirian secara finansial.

kemudian, setelah selesai sholat jumat, saya kaget melihat orang - orang makan dengan 'barbar'nya. mengerumuni penjual makanan, kemudian berebut mengambil makanan tersebut, lalu makan di sekitarnya dengan berbagai macam gaya, kebanyakan adalah berdiri. dan harga makanannya mahal banget!!nasi dan ayam bisa sampai 10 ribu rupiah. mel;ihat mereka makan, saya teringat hannibal lechter. belum lagi penjual VCD yang dikerumuni karyawan yang menjual film - film semi XXX yang bahkan sampulnya aja sangat vulgar. justru VCD yang seperti itu yang laku, sedang film kayak last samurai, ga ada yang menyentuhya sama sekali.

melihat semua ini, saya semakin yakin bahwa bangsa ini butuh pahlawan - pahlawannya. realitas ini haruslah semakin membuat idealisme kita erat dan dalam terpancang dan terpatri dalam sanubari - sanubari para pembaharunya. selain itu, disinilah terlihat bagaimana perlunya berada dalam sebuah jamaah dalam memperbaharui kondisi keumatan saat ini. maka dari itu, pasca kampus harus tetap disikapi dengan positif, seberat apapun semenyeramkan apapun, karena dengan sikap positif, kita bisa terbuka dan bersikap inklusif terhadap realitas. selain itu, hal yang paling tepat dalam memulai pembaharuan ini adalah mulai memperbaharui diri, dari hal yang kecil dan dari sekarang.


1 comment:

Anonymous said...

Bangsa ini masih memerlukan pahlawan-pahlawannya, bener banget Bib! Orang salah kalau mengiria serial kepahlawanan sudah selesai setelah Soekarno membacakan naskah Proklamasi.
Pahlawan zaman sekarang mah harus soleh, kuat, cerdas, kaya secara materi, tebal muka ketika diejek "sok idealis" dsb., dan siap tidak dianugerahkan tanda bintang.

My first two steps to be a hero are to defeat myself, then to win it.