Ratu Adil itu Seorang Pemimpin Pemikiran (?)
Momen kemerdekaan mengingatkan kita kembali pada momen kelahiran bangsa ini. Dalam setiap proses kelahiran, senantiasa ada sakit penderitaan yang dirasakan dan ada tangis yang mengiringi, ada juga kegelisahan yang menyelimuti. Tangis penderitaan dan kegelisahan yang telah menyelimuti rakyat Indonesia berabad – abad lamanya yang memuncak pada haru birunya 17 Agustus 1945.
Seiring dengan melajunya roda waktu, 17 Agustus selalu diperingati tiap tahunnya dengan beraneka ragam cara. Banyak kegembiraan yang membuncah setiap tahunnya kala datang hari ini. Namun, apakah ditemukan tangisan atau barangkali sekedar kegelisahan pikiran dalam masyarakat bangsa ini kala datangnya hari merdeka ini. Bisa jadi Ibu Pertiwi yang tengah bermuram hati justru mengharapkan hal ini !
Bagaimana tidak, telah 61 tahun bangsa ini menyatakan diri merdeka dan berdaulat penuh di bumi Indonesia, namun perbaikan bangsa belum berjalan sebagaimana mestinya bahkan bangsa ini malah didera krisis multidimensi berkepanjangan. Pertanyaannya, apakah bangsa ini telah berjalan di arah yang tepat menuju perbaikan dan kemajuan, atau malah salah jalan? Jika pertanyaan ini timbul, maka sejatinya bangsa ini telah tersesat, bangsa ini butuh penunjuk jalan yang tahu jalan mana yang harus di tempuh dan pergi bersama dalam mengarungi jalan itu. Bangsa ini butuh pemimpin.
Tapi pemimpin bukan sembarang pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini. Bukan golongan pemimpin penggerak massa, sebab pemimpin itu telah ada di depan rakyat. Bukan pula pemimpin spiritual, sebab ia telah ada di tengah-tengah rakyat. Bukan pula pemimpin politik, sebab ia rajin sekali mengunjungi rakyat.
Yang rakyat bangsa ini butuhkan adalah pemimpin pemikiran yang mampu menyuarakan pikiran rakyat saat rakyat diam tak berkutik. Yang mampu membentuk pemikiran cerdas rakyat, dan mampu mengkonstruksi jiwa – jiwa dan pemahaman rakyat dan merangkainya menjadi pola – pola peradaban. Yang paham akan problematika umat dan tahu jalan solusinya. Yang mampu memberikan kontribusi pemikiran dalam mengimplementasikan Islam dan kesempurnaan dan universalitasnya dalam suasana kehidupan modern. Hal yang terakhir menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah kehidupan dunia fakta – fakta dimana ideologi atau faham tidak dilihat dari benar atau salahnya akan tetapi dari fakta – fakta yang mampu ditampilkannya.
Bangsa ini pernah memiliki tipe pemimpin seperti ini. Muhammad Hatta. Dua dimensi kehidupan seorang Hatta yaitu sebagai seorang tokoh politik sekaligus pemikir dan penulis produktif membuat kontibusi multidimensi dalam kehidupan kebangsaan. Kontribusi multidimensinya tersebut yang mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin pemikiran yang turut merekonstruksi kehidupan bangsa di segala bidang. Sumbangan pemikirannya masih dirasakan hingga sekarang misalnya dalam bidang politik, beliau memandang sisten politik yang multipartai cocok di Indonesia mengingat majemuknya kehidupan bangsa, serta dalam bidang ekonomi dan industri, perjuangan beliau memasukkan konsep ekonominya serta koperasi ke dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk memajukan ekonomi rakyat yang sebagian besar berada di pedesaan. Konsep Islam dalam dirinya pun turut mengkonstruksi pemikirannya. Islam yang dipahaminya dengan nuansa dan semangat intelektualitasnya mendasari pernyataan beliau bahwa keadilan sosial dan ekonomi merupakan amanat ajaran tuhan. Pemikiran beliau pun sampai pada tataran pembentukan manusia melalui aspek penekanan kaderisasi kepartaian yang ditonjolkan daripada aspek pengerahan massa yang populer pada zamannya.
Namun, sekali lagi, kepemimpinan adalah kontekstual, sesuai dengan zamannya. Seorang pemimpin pemikiran bukan hanya orang yang memiliki ide – ide besar dan konsep – konsep matang, namun juga orang yang mampu mengkonstruksikan pemikirannya menjadi sebuah gerakan massive perubahan. Hal ini menjadi tantangan mendasar bagi seorang pemimpin pemikiran sebab ketinggian pemikirannya sering kali menempatkannya di masa depan tanpa membumikannya di masa kini yang berakibat pemikirannya hanya sebatas wacana. Ingatkah anda akan Soe Hok Gie?
Rakyat bangsa ini tengah menunggu datangnya ratu adil. Namun, kita, mahasiswa tidak akan pernah menunggunya. Tapi, kita harus memposisikan diri-diri kita sebai agent of change yang konsep perubahan yang diusungnya harus terlebih dahulu matang di tataran pemikiran. Kita harus memosisikan diri kita sebagai guardian of value dimana nilai – nilai itu telah mengakar dalam hati dan akal pikiran kita.
Kitalah generasi ratu adil yang ditunggu – tunggu itu, kitalah benih – benih pemimpin pemikiran itu. Dan kita akan memerdekakan bangsa ini dengan kemerdekaan yang sejati. Kemerdekaan dari penjajahan pemikiran yang telah membelenggu sekian lama. Dan modal utama meraih kemerdekaan adalah Tauhid. Tiada ilah yang harus kita cintai, takuti, harapkan, selain Allah. Inilah kemerdekaan sejati itu.
Momen kemerdekaan mengingatkan kita kembali pada momen kelahiran bangsa ini. Dalam setiap proses kelahiran, senantiasa ada sakit penderitaan yang dirasakan dan ada tangis yang mengiringi, ada juga kegelisahan yang menyelimuti. Tangis penderitaan dan kegelisahan yang telah menyelimuti rakyat Indonesia berabad – abad lamanya yang memuncak pada haru birunya 17 Agustus 1945.
Seiring dengan melajunya roda waktu, 17 Agustus selalu diperingati tiap tahunnya dengan beraneka ragam cara. Banyak kegembiraan yang membuncah setiap tahunnya kala datang hari ini. Namun, apakah ditemukan tangisan atau barangkali sekedar kegelisahan pikiran dalam masyarakat bangsa ini kala datangnya hari merdeka ini. Bisa jadi Ibu Pertiwi yang tengah bermuram hati justru mengharapkan hal ini !
Bagaimana tidak, telah 61 tahun bangsa ini menyatakan diri merdeka dan berdaulat penuh di bumi Indonesia, namun perbaikan bangsa belum berjalan sebagaimana mestinya bahkan bangsa ini malah didera krisis multidimensi berkepanjangan. Pertanyaannya, apakah bangsa ini telah berjalan di arah yang tepat menuju perbaikan dan kemajuan, atau malah salah jalan? Jika pertanyaan ini timbul, maka sejatinya bangsa ini telah tersesat, bangsa ini butuh penunjuk jalan yang tahu jalan mana yang harus di tempuh dan pergi bersama dalam mengarungi jalan itu. Bangsa ini butuh pemimpin.
Tapi pemimpin bukan sembarang pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini. Bukan golongan pemimpin penggerak massa, sebab pemimpin itu telah ada di depan rakyat. Bukan pula pemimpin spiritual, sebab ia telah ada di tengah-tengah rakyat. Bukan pula pemimpin politik, sebab ia rajin sekali mengunjungi rakyat.
Yang rakyat bangsa ini butuhkan adalah pemimpin pemikiran yang mampu menyuarakan pikiran rakyat saat rakyat diam tak berkutik. Yang mampu membentuk pemikiran cerdas rakyat, dan mampu mengkonstruksi jiwa – jiwa dan pemahaman rakyat dan merangkainya menjadi pola – pola peradaban. Yang paham akan problematika umat dan tahu jalan solusinya. Yang mampu memberikan kontribusi pemikiran dalam mengimplementasikan Islam dan kesempurnaan dan universalitasnya dalam suasana kehidupan modern. Hal yang terakhir menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah kehidupan dunia fakta – fakta dimana ideologi atau faham tidak dilihat dari benar atau salahnya akan tetapi dari fakta – fakta yang mampu ditampilkannya.
Bangsa ini pernah memiliki tipe pemimpin seperti ini. Muhammad Hatta. Dua dimensi kehidupan seorang Hatta yaitu sebagai seorang tokoh politik sekaligus pemikir dan penulis produktif membuat kontibusi multidimensi dalam kehidupan kebangsaan. Kontribusi multidimensinya tersebut yang mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin pemikiran yang turut merekonstruksi kehidupan bangsa di segala bidang. Sumbangan pemikirannya masih dirasakan hingga sekarang misalnya dalam bidang politik, beliau memandang sisten politik yang multipartai cocok di Indonesia mengingat majemuknya kehidupan bangsa, serta dalam bidang ekonomi dan industri, perjuangan beliau memasukkan konsep ekonominya serta koperasi ke dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk memajukan ekonomi rakyat yang sebagian besar berada di pedesaan. Konsep Islam dalam dirinya pun turut mengkonstruksi pemikirannya. Islam yang dipahaminya dengan nuansa dan semangat intelektualitasnya mendasari pernyataan beliau bahwa keadilan sosial dan ekonomi merupakan amanat ajaran tuhan. Pemikiran beliau pun sampai pada tataran pembentukan manusia melalui aspek penekanan kaderisasi kepartaian yang ditonjolkan daripada aspek pengerahan massa yang populer pada zamannya.
Namun, sekali lagi, kepemimpinan adalah kontekstual, sesuai dengan zamannya. Seorang pemimpin pemikiran bukan hanya orang yang memiliki ide – ide besar dan konsep – konsep matang, namun juga orang yang mampu mengkonstruksikan pemikirannya menjadi sebuah gerakan massive perubahan. Hal ini menjadi tantangan mendasar bagi seorang pemimpin pemikiran sebab ketinggian pemikirannya sering kali menempatkannya di masa depan tanpa membumikannya di masa kini yang berakibat pemikirannya hanya sebatas wacana. Ingatkah anda akan Soe Hok Gie?
Rakyat bangsa ini tengah menunggu datangnya ratu adil. Namun, kita, mahasiswa tidak akan pernah menunggunya. Tapi, kita harus memposisikan diri-diri kita sebai agent of change yang konsep perubahan yang diusungnya harus terlebih dahulu matang di tataran pemikiran. Kita harus memosisikan diri kita sebagai guardian of value dimana nilai – nilai itu telah mengakar dalam hati dan akal pikiran kita.
Kitalah generasi ratu adil yang ditunggu – tunggu itu, kitalah benih – benih pemimpin pemikiran itu. Dan kita akan memerdekakan bangsa ini dengan kemerdekaan yang sejati. Kemerdekaan dari penjajahan pemikiran yang telah membelenggu sekian lama. Dan modal utama meraih kemerdekaan adalah Tauhid. Tiada ilah yang harus kita cintai, takuti, harapkan, selain Allah. Inilah kemerdekaan sejati itu.
No comments:
Post a Comment