Friday, August 17, 2007

Mengejawantahkan Nation and Character Building Melalui Pendidikan

Habiburrohman Fajarsyah

“Nation and Character Building”, doktrin inilah yang didengung – dengungkan Founding Father kita, Soekarno. Doktrin ini bukan sekedar orasi populis, namun beranjak dari kefahaman mendasar akan problem utama pasca kemerdekaan. Tak bisa dipungkiri, sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan nuansa kedaerahan yang kental, bangsa Indonesia membutuhkan kesamaan pandangan tentang bangsa dan karakter yang holistic sebagai bangsa. Hal ini amat fundamental sebab menyangkut kesamaan gerak, pandangan, dan pemahaman sebagai sebuah bangsa, bukan cluster – cluster kedaerahan.

Doktrin ini belum terlaksana dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari kencangnya aroma kepentingan pribadi dan golongan diatas kepentingan Negara di setiap aspek kehidupan. Contohnya di Papua, hukum Negara pun kalah oleh hukum adat misalnya dalam aspek kepemilikan tanah. Artinya hukum kita belum legitimate di seantero bangsa ini. Lantas, mau dibawa kemanakah bangsa ini ?. hal ini adalah persoalan yang krusial dan harus segera dicari solusinya sehingga bangsa ini tidak digerogoti penyakit dari dalam dirinya lebih akut lagi.

Selama ini pula pendidikan dipandang sebagai wahana yang tepat dalam pengejawantahan doktrin Nation and Character building. Namun, selama itu pula pendidikan kita berputar – putar tanpa arah yang jelas, gonta – ganti kurikulum dan metode, namun tidak mensolusikan hal yang esensi dan fundamental, Sinergi sebagai sebuah bangsa.

Ada beberapa hal yang ditengarai sebagai masalah yang dihadapi pendidikan kita dalam pelaksanaannya sebagai sebuah wahana nation and character building. Masalah yang paling erat kaitannya dengan pembentukan karakter bangsa adalah adanya antagonism media massa terhadap nilai – nilai pendidikan sendiri. Yang paling terlihat saat ini adalah bagaimana hembusan angin konsumerisme dan gaya hidup hedonis yang ditiupkan media massa seperti televise dan majalah – majalah yang lebih banyak dianut generasi bangsa ini daripada nilai – nilai produktivitas yang digawangi oleh institusi pendidikan. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya kedudukan institusi pendidikan dalam membangun karakter rakyat apalagi bila berbicara dalam tataran kebangsaan.

Selain itu, hilangnya model – model pribadi pendidik di kalangan guru dan pemimpin kita pun turut berkontribusi pula dalam kegagalan pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai wahana pembangunan karakter. Pada akhirnya rakyat kehilangan role model yang memadukan unsure – unsure kebaikan dalam kehidupan berbangsa. Hal ini menjadikan pendidikan terlokalisir di sekolah dan institusi pendidikan, tidak di seluruh aspek kehidupan, itupun dengan keberjalanan yang sedemikian kakunya.

3 aspek ejawantah

Maka dari itu, penting rasanya untuk menggagas kembali pengejawantahan pendidikan kita sebagai wahana nation and character building. Pengejawantahan tersebut haruslah sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia sehingga mampu membenahi karakter yang sudah ada dan memberinya warna baru. Karakter bangsa Indonesia yang paling menonjol adalah hubungan interpersonal yang baik antara sesame warga negaranya. Karakteristik ini kurang terbangun dan terberdayakan di pendidikan kita yang cenderung menggunakan system yang kaku dan rigid. Hal ini tentunya mengakibatkan keberjalanannya pun menjadi hambar. Kekurangan hal ini pulalah yang mengakibatkan sering pula terjadi tawuran antarsekolah, sebab para siswa tidak merasa bahwa sekolah adalah rumah keduanya karena hambarnya hubungan interpersonal antara pendidik dan peserta didiknya.

Kemudian, satu aspek penting dalam revitalisasi ejawantah pendidikan sebagai wahana pembangunan bangsa dan pembentukan karakternya adalah keselarasannya dengan potensi bangsa sendiri. Hal ini adalah hal esensial sebab memuat pengetahuan dasar dalam wawasan kewilayahan bangsa. Ini adalah hal yang mutlak harus terintegrasi sehingga potensi bangsa bisa terberdayakan dan pembangunan bangsa berjalan ke arah takdir bangsa tersebut. Mustahil kita membangun bangsa yang kita sendiri pun tidak tahu potensinya secara geografis. Contohnya, bangsa jepang, secara geografis mereka tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah, maka pemerintah mengarahkan pendidikannya kea rah industry dan teknologi rekayasa. Dan takdir jepang pun menemui momennya. Indonesia pun mampu seperti itu, lihatlah kekayaan alam yang melimpah ini membutuhkan otak – otak kreatif untuk mengelola dan mengeksplorasinya. Maka sudah selayaknya pendidikan kita ke arah sana.

Satu aspek terakhir dalam pengejawantahan pendidikan sebagai wahana character and nation building adalah pendidikan yang murah. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan dapat dinikmati seluruh elemen bangsa sehingga kader – kader bangsa yang cakap tidak terbunuh. Ketika berbicara tentang pendidikan murah – apalagi gratis – sepintas hanya terasa seperti bermimpi. Namun apabila komitmen pemerintah kuat untuk mewujudkannya, pastinya hal ini bukan mustahil terlaksana.

Adapun tentang system pendidikannya, bisa mengambil contoh dari banyak Negara, misalnya Finlandia. Pendidikan Finlandia adalah yang terbaik di dunia, mampu mencerdaskan peserta didiknya bahkan ke penyandang keterbelakangan mental sekalipun. Dan apabila dicermati, rahasia pendidikan Finlandia adalah perhatian yang lebih kepada aspek personal perserta didik dibandingkan dengan mengutak – atik system pendidikan. Maka, sudah saatnya pendidikan ini diselaraskan dengan kepribadian bangsa Indonesia, sehingga mampu membentuk dan memperbaiki karakter bangsa.

No comments: