Thursday, December 14, 2006

Perancangan Model Pengolahan Sampah Sebagai Bahan Green Electricity Menggunakan Plasma


Permasalahan sampah menjadi problematika yang cukup serius yang tengah dihadapi kota – kota besar di Indonesia saat ini. Problematika tersebut lebih disebabkan paradigma masyarakat kita yang memandang solusi masalah sampah adalah dengan membuangnya. Kemudian timbullah permasalahan dengan tidak adanya ruang pembuangan sampah. Kemajuan teknologi dewasa ini telah mampu membantu menyelesaikan permasalahan ini dan diharapkan pula mampu mentransformasi paradigma masyarakat kita bahwa penyelesaian terbaik masalah sampah adalah dengan mengelola dan mengolahnya.

Di sisi lain, kondisi kecukupan energi listrik di Indonesia pun mengalami krisis pula. Negeri ini masih membutuhkan sekitar 6000 MW energi listrik untuk mencukupi kebutuhan sehari – harinya. Hal ini diperparah dengan mahalnya bahan bakar pembangkitan yang pada umumnya berasal dari bahan unrenewable seperti minyak bumi atau batu bara.
Perkembangan teknologi yang sedemikian pesatnya mampu menghadirkan solusi bagi kedua permasalahan ini, yaitu pengolahan sampah sebagai sumber energi listrik. Banyak metode yang bisa digunakan dalam pengolahan sampah menjadi sumber energi listrik ini, salah satunya menggunakan plasma.

Plasma adalah gas terionisasi yang diperoleh dengan menambahkan energi pada gas sehingga elektron terlucuti dari atom. Untuk membangkitkan energi listrik, proses pertama yang harus dilakukan adalah gasifikasi plasma. Gasifikasi plasma adalah proses pengubahan material atau zat dalam lingkungan yang kurang oksigen untuk mendekomposisi sampah ke dalam struktur dasarnya. Gasifikasi plasma tidak membakar sampah seperti yang dilakukan oleh incenerator, tetapi mengubah bahan – bahan organik menjadi fuel gas yang masih memiliki energi kimia dan energi panas dari sampah dan mengubah bahan anorganik menjadi gelas kaca. Temperatur yang dimiliki plasma pada proses gasifikasi ini mampu mencapai 8000o C.
Pada proses gasifikasi plasma, sampah dimasukkan ke dalam konverter dimana dilakukan proses gasifikasi tersebut. Generator plasma kemudian menyuplai panas yang dibutuhkan untuk menginisiasi proses gasifikasi tersebut dan mengontrol temperatur konversinya. Proses konversi ini kemudian menghasilkan syngas (synthesis gas – syngas / fuel gas) panas (kira – kira 1000oC) yang kaya akan CO2 dan H2 serta bahan yang tidak dapat diuraikan lagi seperti metal dan gelas. Syngas panas itu kemudian masuk ke dalam tempat manajemen kualitas dari gas tersebut.

Hasil proses gasifikasi yang berupa gas sintesis/ syngas inilah yang akan digunakan untuk memproduksi listrik. Proses pembangkitan energi listrik ini mengacu pada kombinasi siklus pembangkitan tenaga sebab tenaga listrik yang dihasilkan diperoleh dari syngas dan uap yang terbentuk selama proses ini berlangsung. Syngas yang bersih dan dingin itu kemudian disalurkan ke dalam peralatan pembangkit tenaga bisa berbentuk hubungan seri dengan turbin uap. Dalam proses ini, listrik dibangkitkan petama kali. Sisa pembakaran dari peralatan pembangkitan tenaga ini digunakan untuk menciptakan uap di ketel pengendali panas sisa pembakaran. Sisa pembakaran yang telah didinginkan dan ramah lingkungan dalam ketel tersebut kemudian dilepaskan ke udara. Kemudian uap yang dihasilkan dari proses gasifikasi dan yang berasal dari ketel pengendali panas sisa pembakaran itu dimasukkan ke dalam turbin uap untuk membangkitkan listrik lebih banyak. Sebagai bahan perbandingan, di Amerika pembangkit ini telah mampu mengolah sampah sebesar 30 juta ton setiap tahunnya dan mampu membangkitkan l;istrik sebesar 2816 Megawatt per jam.

Diharapkan, perancangan model ini mampu menjadi solusi bagi permasalahan bangsa ini yaitu sampah. Model ini diharapkan mampu menjadi media dalam mengelola dan mengolah sampah sehingga sampah mampu bernilai ekonomis dan mampu berkontribusi bagi kesejahteraan rakyat. Disamping itu, model ini diharapkan mampu menjadi solusi krisis energi sebab mampu menghadirkan sumber energi baru yang renewable dan murah.

Wednesday, December 13, 2006

Kepahlawanan Kolektif, Introspeksi dan Visi
Habiburrohman Fajarsyah, Teknik Elektro ITB


“ Manusia dengan segala keterbatasannya tidak akan mampu menjadi superman, namun dengan kelebihannya mampu menjadi superteam “

Layakkah bangsa ini terpuruk? Bangsa ini memiliki banyak kelebihan dalam segi sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia. Namun, potensi sumber daya manusia yang sedemikian besarnya belum mampu mengeksplorasi sumber daya alam yang ada sehingga mampu mendatangkan kemakmuran bagi bangsa ini.

Manusia bangsa ini bukan manusia – manusia bodoh. Anak – anak bangsa kita mampu meraih prestasi terhormat dalam pentas ilmu pengetahuan tingkat dunia sekalipun, melalui olimpiade. Putra – putra bangsa ini juga yang mampu berbicara di pentas internasional melalui karya monumentalnya seperti Pak Habibie. Berapa banyak elemen bangsa ini yang bergelar Doktor bahkan Profesor, namun kedaan bangsa ini masih saja carut marut.

Kita memang memiliki kecerdasan yang mampu bersaing dalam tataran internasional dalam ruang lingkup individu, namun ketika berbicara dalam tataran kolektif, masih ada yang harus dikompromikan antar individunya. Ketika kita masih berada dalam kondisi menyamakan kepentingan antar individu artinya kita belum memiliki satu visi kebangsaan yang sama. Ambil contoh dalam aspek teknologi. Teknologi saat ini masih terparsialkan dalam penentuan kebijakan politik kita yang masih sebatas suara dan lobi, belum menyentuh konten. Harus ada mainstream politik baru yang mengintegrasikan semua aspek sehingga politik kita berhasil menyentuh aspek konten politiknya tidak sebatas suara dan lobi semata.

Kita pernah melewati sebuah masa yang singkat dimana aspek – aspek kehidupan dari sosial, politik, ekonomi, teknologi berjuang bersama dalam mengangkat kondisi bangsa. Hanya saja aspek budaya dan pertahanan keamanan masih menjadi kendala utama yang merusak harmonisanya selain politik yang memang bermata dua. Masa itu adalah masa Habibie menjabat sebagai presiden. Konsep Habibienomics yang mengedepankan produksi demi mengangkat perekonomian mampu menaikkan kondisi perekonomian kita yang masih terpuruk menjadi lebih baik, walaupun belum baik benar. Sekilas konsep ini menyerupai konsep reformasi ekonomi Park Chung Hee saat mejabat sebagai presiden republik korea. Konsep Industrialisasi berbasis ekspor ternyata berimbas besar pada kehidupan perekonomiannya jauh setelah ia tidak berkuasa lagi. Ketahanan ekonomi mikro yang terbentuk dari mapannya industri rumah tangga mampu membuat Korea menjadi negara pertama yang lepas dari jeratan krisis ekonomi yang melanda Asia tahun 1998. Kemapanan bangsa ini turut dubangun oleh kebijakan ekonomi, pemanfaatan teknologi, kebijakan politik, sosial kemasyarakatan, dan budaya bangsa, semuanya terintegrasi.

Ketika berbicara tentang integrasi semua aspek kehidupan, kita butuh figur – figur yang memiliki spesialisasi dalam keilmuan dan wawasan global dalam tingkat pemikiran sehingga mainstream ini mampu menjadi masif dan memfasilitasi transformasi kehidupan bangsa ini. Kita sudah tidak akan membicarakan lagi figur – figur ratu adil yang dikultuskan, tapi sebuah sistem besar transformasi dengan figur – figur itu sebagai instrumen utama penggeraknya. Kekolektivitasan menjadi sebuah energi dalam menggerakkan sistem besar ini, sinergi menjadi senjata utama sistem ini.

Justru disinilah letak problematikan krusial bangsa ini. Untuk menjamin harmonisasi kekolektivitasan, kesediaan figur – figur untuk ’hanya’ menjadi instrumen sistem amat dibutuhkan, loyalitas inilah yang memang kurang dipunya oleh bangsa ini. Kepentingan dan ambisi pribadi masih menjadi hal yang begitu menggoda bagi figur untuk ’berjuang’ sedangkan urusan kompetensi dan spesialisasi entah ditempatkan di nomor berapa. Padahal, kepahlawanan kolektif ini bergantung pada spesialisasi dan kompetensi instrumen – instrumennya. Kita bisa belajar dari masa penaklukan Persia dimana orang – orang sekaliber Umar, Abu Bakar, Abu Ubaidah ditempatkan sebagai prajurit biasa dibawah kepemimpinan seseorang yang memiliki pengalaman dan kemampuan di bawah mereka yaitu amr bin Ash. Mereka tidak lantas mengajukan mosi tidak percaya atau bahkan melakukan makar, sekali – kali tidak. Tapi mereka melakukan tugasnya dengan sebaik – baiknya.

Pada akhirnya, sebuah mainstream pergerakan yang mengkombinasikan serta memaksimalkan potensi dan kapabilitas instrumennya akan mampu mewujudkan cita – cita besar bangsa Indonesia, menjadi bangsa yang gemah ripah loh jinawi, baldah thoyyibah wa rabbun ghafur. Bahkan, untuk mewujudkan cita – cita itu, seorang superman pun tak akan mampu, tapi sebuah superteam punya kans besar mewujudkannya, tinggal bagaimana memfokuskan kerja instrumen – instrumennya dan merangkai kerja dan karyanya menjadi tinta emas yang menghiasi sejarah bangsa ini.


“Sekolah Pendidikan Karakter”


“Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh begitu saja. Pangkal segala pendidikan karakter adalah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar…” (Mohammad Hatta)
Ramadhan Syahrul Tarbiyah telah datang, input Ramadhan berupa orang – orang beriman hendak diproses agar menjadi orang – orang yang bertakwa. Pada takwa ada kata melaksanakan perintah Allah dan menjauh laranganNya, artinya sebuah kemampuan menunjukkan puncak – puncaknya iman melalui amal nyata yang terlihat di keluhuran akhlaknya.
Apabila imannya belum terejawantahkan dalam akhlak takwanya, maka belum sempurna iman seseorang tersebut, seperti yang termaktub dalam hadits
“ Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka “ (H.R Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Salah satu pengejawantahan iman dalam akhlak adalah cintanya kita pada kebenaran dan keberanian mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang bertentangan dengan nilai – nilai kebenaran.
Bangsa ini tengah mengalami relativitas dalam memaknai kebenaran. Ada kebenaran menurut diri sendiri, menurut masyarakat, menurut hukum dan menurut agama. Poin yang terjadi di bangsa ini adalah masih ada gap dalam pemaknaannya. Kebenaran menurut diri sendiri, yang lebih layak disebut pembenaran, kental kaitannya dengan kepentingan pribadi seseorang terhadap sesuatu. Misalnya seorang artis yang rela memamerkan aurat atas nama estetika demi memperoleh penghasilan. Menurutnya hal itu benar menurutnya karena bernilai estetik, tapi bagi umat, tentunya bertanya etikanya dimana. Disini memang amat terlihat adanya penyimpangan pemikiran yang berakibat terjadinya paradoks antar nilai, dan ini terjadi karena pribadi tersebut belum memiliki dasar pemikiran yang kuat dalam memandang sesuatu hal secara menyeluruh untuk menentukan kadar kebenaran dari sesuatu hal.
Bukti lain adanya relativitas pemaknaan kebenaran adalah budaya main hakim sendiri di masyarakat. Bangsa ini telah menjadi bangsa yang barbar akibat pemahaman yang berbeda dalam menyikapi sesuatu hal tindakan kriminal sehingga diambil langkah – langkah yang cukup ’kriminal’ juga oleh masyarakat dan ini tidak dianggap salah olehnya. Apakah ini adalah buah dari pemaknaan kebenaran oleh masyarakat ?
Bangsa ini pun menjadi sedemikian permisifnya bisa jadi akibat dari pemaknaan kebenaran yang kurang tepat juga. Nilai – nilai positif bangsa tergusur oleh arus mode hasil globalisasi dan liberalisme. Lihat saja dari bagaimana kaum muda kita berpakaian dan bertingkah laku seperti budaya barat, dan itu lagi – lagi tidak dianggap salah oleh masyarakat. Bahkan tidak dianggap modern, orang – orang yang tidak mengikuti mode yang bersumber dari barat. Fenomena ini menggiring pada kenyataan bahwa kebenaran dalam masyarakat tidak selalu baik bagi masyarakat tersebut.
Kebenaran dalam masyarakat ini erat kaitannnya dengan media massa dan institusi pendidikan. Saat ini peran institusi pendidikan dalam membentuk karakter masyarakat dan menghadirkan pemahaman akan makna menyeluruh sebuah kebenaran kalah oleh pengopinian publik oleh media massa yang banyak menyajikan kebenaran rancu yang penuh kepentingan. Efisiensi institusi pendidikan masih amat rendah dalam menghasilkan individu – individu berkarakter yang memiliki visi kebangsaan, sedangkan efisiensi media massa dalam mencetak individu hedonis dan pragmatis cukup besar.
Hal yang harus diperkuat sebab hal itu merupakan inti pengendali kebenaran pribadi dan masyarakat adalah kebenaran dalam hukum dan agama. Kondisi bangsa ini adalah hukumnya masih belum independen sehingga kebenarannya bisa diperjualbelikan, dan bangsa ini kondisi kehidupannya masih penuh dengan sekularitas yang meletakkan agama sebatas tempat ibadah dalam suatu ritual. Namun, adakalanya pada momen – momen tertentu kebenaran yang hakiki mengemuka, salah satunya adalah Ramadhan.
Ramadhan tentunya menjadi saat yang strategis untuk menghadirkan kembali kecintaan pada kebenaran yang bersumber dari fitrah. Pada bulan ramadhan, syiar keagamaan begitu nyata gaungnya dan orang – orangnya pun terkondisikan untuk menerima kebenaran dan mencintainya. Masjid – masjid mulai kembali ramai dikunjungi orang yang walaupun datang untuk berbuka puasa dan sholat maghrib tentunya dan terlihat makmur dengan kegiatan islami.
Kecintaan pada kebenaran pun muncul dan dahsyatnya hal ini dibarengi dengan keberanian dalam mengatakan salah pada hal yang bertentangan dengan nilai kebenaran. Seperti ketika seorang mahasiswa yang kesehariannya ’gaul abis’ kala melihat temannya mencontek pekerjaan rumah miliknya, dia menegurnya bahwa Bulan Ramadhan tidak boleh mencontek sebab bisa merusak pahala puasa katanya. Luar biasa sekali, bahwa pangkal dari pendidikan karakter itu muncul disana, pada momentum Ramadhan ini.
Ada harapan besar akan terintegrasinya kebenaran – kebenaran individu, masyarakat, hukum dan agama ketika kedatangan Bulan Ramadhan ini. Harapan akan menyemainya benih – benih karakter cinta pada kebenaran dan keberanian mengatakan kebenaran dari terintegrasinya pemahaman tentang hakikat kebenaran itu, akan menjadi pertanda lahirnya pribadi – pribadi berkesadaran. Kelahiran pribadi – pribadi ini menjadi sebuah keniscayaan atas perubahan menuju kemajuan peradaban sebuah bangsa. Sebab bagaimana mungkin seorang individu akan melakukan perubahan sedangkan ia sendiri tidak memiliki kesadaran atas hal apa yang harus diubah.
Maka inilah individu itu, individu yang sadar akan realitas ditengah idealitas mereka. Merekalah yang akan berjuang, memperjuangkan nilai - nilai kebenaran yang diperoleh lewat kesadarannya akan realitas. Merekalah yang akan mentransformasi kebenaran masyarakat yang akan menjadi tanda lahir peradaban. Peradaban inilah yang akan melahirkan hukum yang independen, bebas dari kepentingan siapun, hukum yang tidak memihak rakyat atau penguasa, namun hukum yang memihak kebenaran
Sekali lagi, kebenaran yang mereka perjuangkan bukan kebenaran perut mereka. Namun kebenaran yang diperoleh dari akal dan hati mereka yang bersumber dari fitrah. Dan merekalah pribadi – pribadi yang akan diwisuda oleh sekolah pembentukan karakter berkurikulum langit yaitu Ramadhan. Mereka adalah orang – orang beriman yang akan melalui proses pembelajaran dan penempaan sehingga saat berakhirnya masa ajaran, akan mampu menampakkan puncak – puncak keimanan mereka melalui akhlak takwanya. Merekalah yang akan membidani persalinan peradaban baru bangsa mereka menuju peradaban yang berlandaskan nilai – nilai kebenaran hakiki, berdasarkan iman. Semoga bangsa itu adalah bangsa ini, Indonesia.
Ratu Adil itu Seorang Pemimpin Pemikiran (?)

Momen kemerdekaan mengingatkan kita kembali pada momen kelahiran bangsa ini. Dalam setiap proses kelahiran, senantiasa ada sakit penderitaan yang dirasakan dan ada tangis yang mengiringi, ada juga kegelisahan yang menyelimuti. Tangis penderitaan dan kegelisahan yang telah menyelimuti rakyat Indonesia berabad – abad lamanya yang memuncak pada haru birunya 17 Agustus 1945.
Seiring dengan melajunya roda waktu, 17 Agustus selalu diperingati tiap tahunnya dengan beraneka ragam cara. Banyak kegembiraan yang membuncah setiap tahunnya kala datang hari ini. Namun, apakah ditemukan tangisan atau barangkali sekedar kegelisahan pikiran dalam masyarakat bangsa ini kala datangnya hari merdeka ini. Bisa jadi Ibu Pertiwi yang tengah bermuram hati justru mengharapkan hal ini !
Bagaimana tidak, telah 61 tahun bangsa ini menyatakan diri merdeka dan berdaulat penuh di bumi Indonesia, namun perbaikan bangsa belum berjalan sebagaimana mestinya bahkan bangsa ini malah didera krisis multidimensi berkepanjangan. Pertanyaannya, apakah bangsa ini telah berjalan di arah yang tepat menuju perbaikan dan kemajuan, atau malah salah jalan? Jika pertanyaan ini timbul, maka sejatinya bangsa ini telah tersesat, bangsa ini butuh penunjuk jalan yang tahu jalan mana yang harus di tempuh dan pergi bersama dalam mengarungi jalan itu. Bangsa ini butuh pemimpin.
Tapi pemimpin bukan sembarang pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini. Bukan golongan pemimpin penggerak massa, sebab pemimpin itu telah ada di depan rakyat. Bukan pula pemimpin spiritual, sebab ia telah ada di tengah-tengah rakyat. Bukan pula pemimpin politik, sebab ia rajin sekali mengunjungi rakyat.
Yang rakyat bangsa ini butuhkan adalah pemimpin pemikiran yang mampu menyuarakan pikiran rakyat saat rakyat diam tak berkutik. Yang mampu membentuk pemikiran cerdas rakyat, dan mampu mengkonstruksi jiwa – jiwa dan pemahaman rakyat dan merangkainya menjadi pola – pola peradaban. Yang paham akan problematika umat dan tahu jalan solusinya. Yang mampu memberikan kontribusi pemikiran dalam mengimplementasikan Islam dan kesempurnaan dan universalitasnya dalam suasana kehidupan modern. Hal yang terakhir menjadi sebuah keniscayaan dalam sebuah kehidupan dunia fakta – fakta dimana ideologi atau faham tidak dilihat dari benar atau salahnya akan tetapi dari fakta – fakta yang mampu ditampilkannya.
Bangsa ini pernah memiliki tipe pemimpin seperti ini. Muhammad Hatta. Dua dimensi kehidupan seorang Hatta yaitu sebagai seorang tokoh politik sekaligus pemikir dan penulis produktif membuat kontibusi multidimensi dalam kehidupan kebangsaan. Kontribusi multidimensinya tersebut yang mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pemimpin pemikiran yang turut merekonstruksi kehidupan bangsa di segala bidang. Sumbangan pemikirannya masih dirasakan hingga sekarang misalnya dalam bidang politik, beliau memandang sisten politik yang multipartai cocok di Indonesia mengingat majemuknya kehidupan bangsa, serta dalam bidang ekonomi dan industri, perjuangan beliau memasukkan konsep ekonominya serta koperasi ke dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk memajukan ekonomi rakyat yang sebagian besar berada di pedesaan. Konsep Islam dalam dirinya pun turut mengkonstruksi pemikirannya. Islam yang dipahaminya dengan nuansa dan semangat intelektualitasnya mendasari pernyataan beliau bahwa keadilan sosial dan ekonomi merupakan amanat ajaran tuhan. Pemikiran beliau pun sampai pada tataran pembentukan manusia melalui aspek penekanan kaderisasi kepartaian yang ditonjolkan daripada aspek pengerahan massa yang populer pada zamannya.
Namun, sekali lagi, kepemimpinan adalah kontekstual, sesuai dengan zamannya. Seorang pemimpin pemikiran bukan hanya orang yang memiliki ide – ide besar dan konsep – konsep matang, namun juga orang yang mampu mengkonstruksikan pemikirannya menjadi sebuah gerakan massive perubahan. Hal ini menjadi tantangan mendasar bagi seorang pemimpin pemikiran sebab ketinggian pemikirannya sering kali menempatkannya di masa depan tanpa membumikannya di masa kini yang berakibat pemikirannya hanya sebatas wacana. Ingatkah anda akan Soe Hok Gie?
Rakyat bangsa ini tengah menunggu datangnya ratu adil. Namun, kita, mahasiswa tidak akan pernah menunggunya. Tapi, kita harus memposisikan diri-diri kita sebai agent of change yang konsep perubahan yang diusungnya harus terlebih dahulu matang di tataran pemikiran. Kita harus memosisikan diri kita sebagai guardian of value dimana nilai – nilai itu telah mengakar dalam hati dan akal pikiran kita.
Kitalah generasi ratu adil yang ditunggu – tunggu itu, kitalah benih – benih pemimpin pemikiran itu. Dan kita akan memerdekakan bangsa ini dengan kemerdekaan yang sejati. Kemerdekaan dari penjajahan pemikiran yang telah membelenggu sekian lama. Dan modal utama meraih kemerdekaan adalah Tauhid. Tiada ilah yang harus kita cintai, takuti, harapkan, selain Allah. Inilah kemerdekaan sejati itu.